Pemenuhan Hak Agama dan Adat Untuk Penyandang Disabilitas di Bali

Ida Ayu Made Gayatri1, Ni Kadek Juliantari2

1Universitas Ngurah Rai

2 Stkip Agama Hindi Amlapura

Silakan Sitasi: http://ejournal.ihdn.ac.id/index.php/IJHSRS/article/view/803/658

 

ABSTRAK

Hak beragama orang Indonesia telah diatur dalam UUD 1945, UU No. 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pemenuhan Hak Beragama Penyandang Disabilitas (PD) telah diatur dalam pasal 14 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas diatur dalam Peraturan Bali No. 9 tahun 2015 (Perda 9/2015). Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan pendekatan sosio-normatif yang terkait dengan implementasi Perda 9/2015, mengidentifikasi tantangan dan peluang PD di Bali dalam memperoleh hak agama dan adat mereka.

Identifikasi penting untuk mendorong inklusi sosial dan harmonisasi dalam kehidupan. Informan dipilih dengan menggunakan purposive sampling yang melibatkan organisasi disabilitas: Pertuni, Kube Darma Bakti, Rwa Bineda, Gerkatin, Bali Tuli Komunitas, Yayasan YBSH dan Puspadi Bali.

Metode pengumpulan data adalah observasi, wawancara dan studi pustaka.

Keberadaan Orang dengan Disabilitas (PD) adalah minoritas terbesar di dunia dan bagian dari keragaman struktur sosial dan budaya Indonesia. PD sering mengalami pengucilan sosial, termasuk dalam menjalankan praktik dan keyakinan agama. Wacana ini sering diabaikan karena stereotip PD identik dengan masalah sosial-ekonomi yang ditangani oleh layanan sosial. Beberapa hambatan dalam memenuhi hak agama dan keyakinan penyandang disabilitas: tempat ibadah tidak dapat diakses, kelangkaan bahan ajar agama dan kurangnya fasilitas pelayanan untuk PD, terutama dalam berbagai perayaan keagamaan.

Kata kunci: disabilitas, keragaman, agama

1.PENDAHULUAN              

Hak beragama di Indonesia diatur dalam sejumlah undang-undang dan peraturan. Dalam UUD 1945, pasal 29 tentang Kebebasan Beragama yang berbunyi (1) Negara didasarkan pada keyakinan kepada Tuhan Yang Esa; (2) Negara menjamin kemerdekaan setiap warga negara untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadah sesuai dengan agama dan kepercayaan mereka.

Pasal 28E ayat (1) UUD 1945 menyatakan “Setiap orang bebas untuk memeluk agama dan beribadah menurut agamanya, memilih pendidikan dan pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal di wilayah negara dan meninggalkan itu, dan berhak untuk kembali. Pasal 28E ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berkeyakinan. Selain itu dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga diakui bahwa hak atas agama adalah hak asasi manusia.

Penjelasan atas Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 1 / PNPS / 1965 pasal 1 menyatakan bahwa agama yang dianut oleh penduduk di Indonesia adalah Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha dan Konfusianisme (Kon Hu Cu). Ini bisa dibuktikan dalam sejarah perkembangan agama di Indonesia.

Dalam UU No. 39 tahun 1999 pasal tersebut menyatakan bahwa agama adalah hak asasi manusia yang dinyatakan sebagai salah satu prinsip dasar. Republik Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia sebagai hak yang inheren melekat dan tidak dapat dipisahkan dari manusia, yang harus dilindungi, dihormati dan dijunjung tinggi untuk peningkatan martabat manusia, kesejahteraan, kebahagiaan dan kecerdasan, dan keadilan.

Bab III Hak Asasi Manusia dan Kebebasan Manusia Dasar dalam Pasal 22 ayat (1) Setiap orang bebas untuk memeluk agama masing-masing dan beribadat menurut agama dan keyakinan mereka; Ayat (2) Negara menjamin kemerdekaan bagi setiap orang untuk memeluk agama masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan keyakinan mereka.     Meskipun kebebasan bervariasi, termasuk dalam hak asasi manusia termasuk dalam hak yang tidak dapat dikurangi, atau tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun, itu tidak berarti secara mutlak semua.

Hak atas hak asasi manusia dijamin oleh konstitusi dan bahwa kebebasan juga terbatas pada pasal 28J: (1 ) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam kehidupan masyarakat, bangsa dan negara yang tertib; (2) Dalam melaksanakan hak dan kebebasannya, setiap orang harus mematuhi pembatasan yang ditetapkan oleh hukum dengan tujuan tunggal menjamin pengakuan dan penghormatan terhadap hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam masyarakat demokratis.

Namun, sejumlah fakta menunjukkan bahwa ada pembatasan dan pelanggaran hak asasi manusia untuk agama dalam berbagai manifestasi konflik dan kekerasan seperti: intoleransi, diskriminasi, penganiayaan di Indonesia. Agama juga paling sering digiring sebagai alat kepentingan politik untuk memecah belah bangsa dan negara. Konflik agama di Indonesia cenderung dipicu oleh berbagai masalah seperti sengketa tanah untuk tempat ibadah, radikalisme, salah tafsir agama dan penodaan agama serta kurangnya penghormatan terhadap kesadaran hidup yang harmonis.

Berbagai nuansa keagamaan dalam bentuk serangan fisik terhadap berbagai tokoh agama dan penganiayaan minoritas agama, intoleransi dan banyak dimensi kekerasan lain yang terjadi, menunjukkan ancaman serius terhadap keragaman (Erdianto, 2018).

Dalam perjalanan historisnya, penganut agama Konfusian selama beberapa dekade mengalami pembatasan. Bahkan, sebagai salah satu agama di Indonesia, negara diakui oleh pemerintah Presiden Soekarno melalui UU No. 1 / PNPS / 1965 yang dikonfirmasi oleh UU nomor 5 tahun 1969. Namun, pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, instruksi dikeluarkan yang melarang semua jenis tradisi Cina, termasuk Konfusianisme, secara terbuka.

Pengakuan resmi dari negara Konfusianisme hanya datang pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur pada tahun 2000 (BBC, 2001). Setara Institute merilis laporan yang terkait dengan intoleransi agama sepanjang 2017 mencatat 155 pelanggaran kebebasan beragama dan berkeyakinan yang terjadi di 29 provinsi di Indonesia. Pelanggaran kebebasan beragama dilakukan oleh kelompok radikal dan sebagian besar dilakukan oleh pemuda (Batubara, 2018).

Intoleransi dalam kehidupan beragama di Indonesia masih terjadi di Indonesia pada tahun 2018. Sejumlah fakta intoleransi seperti perusakan kuil di Lumajang, perusakan masjid Baiturrahim di Tuban, ancaman bom di kuil Kwan Remaja Koen Karawang, penghancuran gereja di Yogyakarta, pengusiran biksu di Tangerang, serangan terhadap ulama di Lamongan (Rohmanudin, 2018).

Pelanggaran hak asasi manusia berarti hilangnya tanggung jawab untuk perlindungan, penghormatan dan pemenuhan hak atas kebebasan beragama dan berkeyakinan berarti bahwa telah terjadi kehilangan akal sehat, hati nurani, dan kesadaran baik secara sengaja (berdasarkan komisi) dan atau karena kelalaian ( melalui penonaktifan) (Safi’ie, 2011). Pelarangan kekerasan atas nama agama dan kepercayaan berarti bahwa telah terjadi kehilangan akal sehat, hati nurani, dan kesadaran untuk berpegang pada agama tertentu dan membuat jalan bagi kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia menjadi kebiasaan seolah-olah tidak ada dosa dan pelanggaran dalam melakukannya.

Pemenuhan hak beragama Penyandang Disabilitas di Indonesia telah diatur dalam UU No. 8 tahun 2016 dan dalam Pasal 14 tentang hak beragama. Peraturan Bali No. 9 tahun 2015 juga mengatur hak agama dan adat. Namun kenyataannya, jutaan orang dengan disabilitas di Indonesia dan di Bali secara sosial dikecualikan dalam memperoleh hak-hak beragama mereka. Penyandang cacat mengalami berbagai faktor penghambat serta keterbatasan fisik karena mereka juga menghadapi pengucilan sosial dalam bentuk hambatan sosial dan infrastruktur yang tidak kondusif. Studi ini berfokus pada masalah pemenuhan hak-hak beragama dan hak-hak khusus bagi penyandang disabilitas di Bali. Ini adalah tujuan umum untuk menciptakan masyarakat yang hidup harmonis dalam keberagaman.

II. Metode

Tantangan dan peluang untuk pemenuhan hak agama dan adat bagi Penyandang Disabilitas di Bali adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan sosiologis dan yuridis-normatif. Metode pengumpulan data diperoleh melalui observasi, diskusi terfokus (FGD) dengan perwakilan dari organisasi penyandang disabilitas (OPD), dan melalui studi dokumen. FGD dilakukan untuk mengidentifikasi hambatan dan solusi untuk pemenuhan hak inklusif agama dan adat dari penyandang cacat berdasarkan Peraturan Bali (Perda Bali) No 9 tahun 2015 pasal 50.

Pengumpulan Data dilakukan dengan observasi, wawancara dan studi literatur.Implementasi inklusi sosial dalam kajian ini dilakukan dengan menyajikan petikan hasil wawancara dalam FGD. Pendapat dan pandangan penyandang disabilitas merupakan instrumen penting untuk memahami peluang dan tantangan pemenuhan hak beragama bagi penyandang disabilitas.

2.1 Pendekatan sosiologis

Sosiologi adalah studi tentang kehidupan orang-orang, terutama mereka yang cacat di Bali. Penelitian ini menggunakan pendekatan teoritis strukturalisme fungsional, terutama dalam mengidentifikasi fakta-fakta sosial dari fungsi agama dan lembaga agama, tindakan sosial dan kewajiban negara dalam memenuhi hak-hak agama penyandang disabilitas yang inklusif.

Lubis (2015) dalam Buku Sosiologi Agama menyatakan fungsi agama, yaitu: 1) menjelaskan cakrawala dunia yang tidak dapat diakses manusia yang melibatkan takdir dan kemakmuran; 2) agama menawarkan hubungan transendental melalui ibadah dan penyembahan sehingga memberikan dasar emosional untuk perasaan aman; 3) agama membersihkan norma-norma dan nilai-nilai masyarakat yang telah terbentuk; 4) agama juga dapat memberikan standar nilai dalam menilai kembali norma-norma yang dilembagakan secara kritis; 5) agama melakukan fungsi identitas.

Émile Durkheim menyatakan fungsi agama sebagai sumber utama solidaritas sosial Ritual agama yang dilakukan secara kolektif dapat memperkuat solidaritas atau kohesi sosial. Émile Durkheim mendefinisikan agama sebagai fakta sosial yang dapat diidentifikasi dan memiliki kepentingan sosial. Untuk Durkheim, agama memainkan peran fungsional karena agama adalah prinsip solidaritas masyarakat (Lubis, 2015).

Masyarakat selalu mengalami dialektika stabilitas dan perubahan, integrasi dan konflik, fungsi dan kekuatan motivasi, konsensus dan paksaan. Talcott Parsons mengatakan bahwa setiap sistem sosial bergantung pada empat imperatif atau masalah yang harus diatasi sehingga keseimbangan atau keberadaan sistem dijamin, yaitu: 1) adaptasi; 2) kemungkinan mencapai tujuan; 3) integrasi anggotanya dan 4) kemampuan untuk mempertahankan identitas terhadap goncangan dan ketegangan yang timbul dari dalam (Lubis, 2015: 53). Pemikiran Talcott Parsons disebut sistem tindakan sebagai prasyarat fungsional untuk mencapai keseimbangan melalui AGIL (Adaptasi, Tujuan pencapaian, Integrasi dan pemeliharaan pola Laten.

Talcott Parsons menggambarkan teori tindakan sukarela yang menempatkan individu lebih sebagai agen daripada sebagai bagian dari struktur. Keputusan subyektif selalu ada tetapi dibatasi oleh nilai, norma, dan situasi. Tindakan sukarela memiliki unsur-unsur seperti: (1) aktor atau individu; (2) tujuan; (3) satu set alternatif; (4) pengaruh nilai, norma dan ideologi; (5) keputusan subjektif; (6) peran individu sebagai aktor dalam integrasi dalam suatu sistem; (7) perlu ada pelembagaan struktur yang mengatur pola hubungan antar faktor.

2.2 Pendekatan yuridis-normatif

Pendekatan yuridis-normatif menggunakan bahan hukum dengan memeriksa teori, konsep, prinsip hukum dan undang-undang. Hak Beragama untuk Penyandang Cacat diatur dalam UU No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dalam Bab III tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas pada bagian umum pertama, pasal 5 ayat (1) huruf (i).     Pendekatan yuridis-normatif menggunakan bahan hukum dengan memeriksa teori, konsep, prinsip hukum dan undang-undang.

Hak Beragama untuk Penyandang Cacat diatur dalam UU No. 8 tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dalam Bab III tentang Hak-hak Penyandang Disabilitas pada bagian umum pertama, pasal 5 ayat (1) huruf (i).

Bagian kesepuluh dari pasal 14 tentang Hak Beragama bagi para penyandang cacat yang meliputi: a) memeluk agama dan kepercayaan masing-masing dan beribadat menurut agama dan keyakinan mereka; b) Dapatkan akses yang mudah dalam memanfaatkan tempat-tempat ibadah; c). Dapatkan buku-buku suci dan literatur keagamaan lainnya yang mudah diakses berdasarkan kebutuhan mereka; d) mendapatkan layanan sesuai dengan kebutuhan saat melakukan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinan mereka; dan e). memainkan peran aktif dalam organisasi keagamaan.

Hak agama untuk penyandang cacat didasarkan pada: a. menghormati martabat; b. otonomi individu; c. tanpa diskriminasi; d. perayaan penuh; e. keragaman manusia dan manusia; f. kesempatan; g. persamaan; h. Aksesibilitas; I. pertumbuhan kapasitas dan identitas anak-anak; j. inklusif; k. Perlakuan khusus dan pelindungan lebih.

Dalam UU No. 8 tahun 2016 pemerintah dan pemerintah daerah melakukan rehabilitasi sebagai berikut: a. Melindungi Orang-Orang dengan Kecacatan dari mana saja untuk memeluk agama dan keyakinan (pasal 78); b. Melakukan pelatihan agama dan konseling tentang penyandang disabilitas (pasal 79); c. Mendorong dan / atau membantu rumah tangga menyediakan fasilitas dan infrastruktur yang mudah diakses oleh penyandang cacat (pasal 80); d. Menyediakan tulisan suci dan literatur lain yang dapat diakses melalui kebutuhan para penyandang cacat (pasal 81); e. Pemerintah dan Pemerintah Daerah mengupayakan ketersediaan penerjemah bahasa isyarat dalam kegiatan peribadatan. (pasal 82).

Dalam Pasal 18 Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik atau Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Ratifikasi Konvensi Hak Sipil dan Politik. Pasal 18 membuat perbedaan dengan melihat dimensinya, yaitu membedakan kebebasan beragama atau berkeyakinan, dan kebebasan untuk menjalankan agama atau keyakinan.

Perbedaan ini didasarkan pada rasionalitas yang, pertama, dimensi individu yang tercermin dalam perlindungan eksistensi spiritual seseorang (forum internum), termasuk dalam dimensi ini, adalah memilih, mengganti, mengadopsi, dan merangkul agama dan keyakinan. Kedua, dimensi kolektif tercermin dalam perlindungan eksistensi seseorang untuk mengusir eksistensi spiritualnya dan mempertahankannya di depan umum (forum externum) (Ratnaningsih, 2017).

Berdasarkan UU No. 28 tahun 2002 tentang Bangunan, menetapkan bahwa setiap bangunan harus menyediakan fasilitas / infrastruktur untuk penyandang cacat kecuali rumah pribadi. Selain itu, ada Peraturan Pemerintah No. 43 tahun 1998 tentang Upaya Meningkatkan Kesejahteraan Sosial bagi Penyandang Cacat. Peraturan tersebut menetapkan bahwa setiap penyedia fasilitas dan infrastruktur publik harus memberikan akses yang sama. Aksesibilitas dimaksudkan untuk menciptakan kondisi dan lingkungan yang mendukung penyandang disabilitas untuk bersosialisasi dengan masyarakat.

Studi ini menelusuri pendekatan Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah diatur dalam UUD 1945 sebagaimana dalam pasal 28 E ayat 2 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berkeyakinan.Dan dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 juga mengakui bahwa hak beragama adalah hak asasi manusia. Pasal 29 UUD 1945 tentang Hak Kebebasan Beragama, pada ayat (2) menyatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan setiap warga negara untuk memeluk agama.

Studi ini berfokus pada Peraturan Daerah Bali No. 9 tahun 2015 tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas. Pada bagian keenam pasal 50 mengatur tentang hak-hak agama dan adat yang berbunyi (1) Setiap Orang dengan Disabilitas memiliki hak dan peluang yang sama dalam melaksanakan kegiatan agama dan adat. (2) Gubernur memfasilitasi ketersediaan fasilitas yang dapat diakses untuk mendukung Penyandang Cacat dalam menjalankan kegiatan agama dan adat secara mandiri; (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyediaan fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (2), diatur dalam Peraturan Gubernur.

2.3 Orang dengan Disabilitas

Istilah penyandang cacat atau Penyandang Disabilitas adalah pengganti dari penyandang cacat atau cacat. Dalam UU No. 4 tahun 1997 tentang Penyandang Cacat menyatakan bahwa orang cacat adalah siapa saja yang memiliki gangguan fisik dan / atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan hambatan dan penghalang baginya untuk melakukannya dengan benar yang terdiri dari:

a. Tidak mampu secara fisik; b. Orang-orang cacat mental; c. Orangdengan cacat fisik dan mental.     Dalam Bab I Ketentuan Umum UU No. 8 tahun 2018 tentang Penyandang Cacat menyatakan bahwa penyandang cacat adalah siapa saja yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan / atau sensorik dalam jangka panjang yang berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan. dalam berpartisipasi penuh dan efektif dengan warga lainnya berdasarkan hak-hak mereka yang setara.

Perubahan paradigma ini menempatkan penyandang disabilitas bukan lagi sebagai persoalan kecacatan sebagai  permasalahan individu dan  sebagai penyebab hambatan untuk beraktivitas atau hidup sebagaimana layaknya. Perubahan paradigma tentang penyandang disabilitas sebagai bagian dari Hak asasi manusia yang menempatkan setiap individu penyandang disabilitas mendapat jaminan penghormatan, pemajuan, perlindungan dan pemenuhan HAM dari negara (Ratnaningsih, 2016).

Dalam Bab I Ketentuan umum Peraturan Daerah Bali No. 9 tahun 2015 tentang perlindungan dan pemenuhan hak penyandang cacat, dinyatakan bahwa penyandang cacat adalah orang-orang yang memiliki gangguan, gangguan, dan / atau kehilangan fisik, mental, fungsi organ intelektual dan sensorik untuk waktu yang lama yang penuh dapat mencegah dan partisipasi efektif dalam masyarakat berdasarkan kesetaraan dengan orang lain.

Pasal 3 pragraf 2 menyatakan ruang lingkup tipe penyandang disabilitas meliputi: a. gangguan penglihatan; b. gangguan pendengaran c. gangguan bicara; d. gangguan motor dan mobilitas; e. cerebral palsy; f. gangguan perhatian defisit dan hiperaktif; g. autisme; h. epilepsi; saya. sindrom turet; j. gangguan sosial, emosional, dan perilaku; k. keterbelakangan mental; dan saya. keterlambatan belajar.

Orang Bali memiliki beberapa istilah yang berkaitan dengan bentuk cacat dalam bahasa Bali mereka seperti: bongol (tuli), kolok (cacat bicara), buta, peceng, picek (buta), perot (pincang), rumpuh (lumpuh), sengkok (tangan tidak lurus), buduh (gangguan mental), longor (idiot), olog-ologan (kecerdasan di bawah rata-rata). Desa Bengkala di Singaraja Bali dikenal sebagai Desa Kolok ada 42 orang mengalami cacat dengan bicara dan tuli dan masyarakat menyebutnya sebagai kolok. 

2.4 Hak Religius dan Adat

Agama adalah sistem yang mengatur sistem keyakinan, keyakinan, dan pemujaan Tuhan Yang Maha Kuasa dan aturan yang berkaitan dengan hubungan manusia dengan manusia dan lingkungan. Agama berarti kualitas yang ada dalam agama atau sesuatu tentang agama. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, agama didefinisikan sebagai menganut agama, menaati agama, beribadah. Adat berasal dari bahasa Arab yang artinya kebiasaan.

Adat atau kebiasaan dapat didefinisikan sebagai tindakan yang dilakukan berulang-ulang dan kemudian menjadi kebiasaan yang tetap dan dihormati. Adat adalah kebiasaan yang tumbuh dan terbentuk dari masyarakat atau daerah yang dianggap memiliki nilai, ditegakkan dan dipatuhi oleh komunitas pendukung. Adat di Bali diatur dalam aturan adat di setiap desa yang disebut awig-awig di mana pelaksanaannya disesuaikan dengan tempat (desa), waktu (kala) dan situasi dan kondisi (patra) dari masing-masing desa. Hak agama dan adat untuk penyandang cacat di Bali diatur dalam Peraturan Bali (Perda Bali) No. 9 tahun 2015 dalam pasal 50.

2.4 Sumber Data

Informan sebagai sumber data primer dipilih dengan purposive sampling, mereka yang aktif terlibat dalam kegiatan, kepemimpinan dan representasi organisasi. Para pemimpin dari Organisasi Penyandang Disabilitas (OPD) di Bali yang terlibat dalam FGD ini adalah:

1) DPD Pertuni Bali yang diwakili oleh I Gede Winaya (Ketua), I Made Sukawijaya (Wakil Ketua) dan I Nyoman Soma (Kepala Beaureu agama, seni dan budaya);

2) Deperda Pertuni Bali diwakili oleh I Nyoman Bawa (ketua); 3) Kube Darma Bakti diwakili oleh I Ketut Masir (ketua);

3) Gerkatin Bali diwakili oleh Kuswahyuhadi (ketua), Gerkatin Denpasar diwakili oleh Musantara Yudha sebagai Ketua dan Adi Negara sebagai sekretaris. Puspadi Bali diwakili oleh I Nengah Latra (Direktur) dan Yayasan Bhakti Senang Hati diwakili oleh I Nyoman Sukadana (ketua).

Pertuni adalah singkatan dari Persatuan Tunanetra Indonesia. Gerkatin adalah singkatan dari Gerakan Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia. DPD Pertuni Bali, Deperda Pertuni Bali dan Kube Darma Bakti adalah organisasi untuk tunanetra. Puspadi Bali dan Yayasan Bhakti Senang Hati adalah organisasi disabilitas fisik.

Tabel. 1

Organisasi Penyandang Disabilitas Bali

dalam FGD, 2018

Organisasi Tipe Kedisabilitasan
1.DPD PERTUNI BALI Buta
2.DEPERDA PERTUNI BALI Buta
3.KUBE DARMA BAKTI Buta
4.GERKATIN BALI  Tuli
5.GERKATIN KOTA DENPASAR  Tuli
6.BALI DEAF COMMUNITY  Tuli
7.PUSPADI BALI Disabilitas fisik
8.YAYASAN BHAKTI SENANG HATI Disabilitas fisik
Sources: Ida Ayu Made Gayatri, 2018

 

Sumber data sekunder dalam penelitian ini menggunakan data dari Puspatin, WHO, ILO dan beberapa media massa. WHO sebagai organisasi kesehatan dunia menyatakan bahwa penyandang disabilitas adalah minoritas terbesar di dunia, dimana 80% berada di negara berkembang.International Labour Organization (2013) menunjukkan fakta bahwa sekitar 15% populasi dunia (sekitar satu miliar) adalah penyandang disabilitas dan merupakan minoritas terbesar.

Jumlah penyandang cacat setiap tahun telah meningkat karena berbagai faktor seperti: kecelakaan, penyakit selain cacat lahir.Menteri Tenaga Kerja mengatakan perkiraan jumlah penyandang cacat di Indonesia sekitar 21 orang dengan perkiraan tenaga kerja sebesar 11 juta dan 96,11 persen dari mereka telah bekerja di berbagai sektor pekerjaan (Solehudin, 2017). Berdasarkan data penyandang disabilitas di Provinsi Bali pada tahun 2013 jumlahnya mencapai 20.187 yang terdiri dari 11.081 pria (53, 23%) dan 9.736 wanita (46,77%).

Tabel. 2

Jumlah penyandang disabilitas

Berdasarkan  Jenis Kelamin

di Bali

Jenis Kelamin Jumlah   %

 

 
laki 11,081 53,23
Perempuan   9,736 46,77
Total 20,187 100%

Sources : Bali Regional Regulation No. 9 of 2015

Data PUSDATIN dari Kementerian Sosial, pada tahun 2010 menyatakan Jumlah penyandang cacat di Indonesia adalah: 11.580.117 orang termasuk 3.474.035 (cacat visual), 3.010.830 (cacat fisik), 2.547.626 (tuna rungu), 1.389.614 (cacat mental) dan 1.158.012 ( cacat kronis) (ILO, 2016).

Tabel. 2

Jumlah Penyandang Disabilitas

 

Tipe Disabilitas Jumlah
Disabilitas Penglihatan

Disabilitas Fisik

Disabilitas Pendengaran

Disabilitas  Mental

Disabilitas Kronis

3,474,035

3,010,830

2.574.626
1,389,614

1,158,012

 

  11,580,117

Source: ILO, 2010

 

Pengumpulan data penyandang disabilitas masih menjadi tantangan dalam pengembangan inklusi. Data mengenai penyandang disabilitas seringkali tidak komprehensif dan diperbarui baik dari nama dan ketidakmampuan mereka termasuk tidak adanya data di tingkat pemerintah desa dan tidak adanya data dasar di tingkat nasional (Nurjanah dan Fitra, 2018).

Peraturan Daerah Bali No. 9 tahun 2015 adalah sumber penting yang didukung oleh informasi dari penelitian dan artikel yang memberikan pemahaman tentang kebutuhan penyandang cacat di Bali.  

III. HASIL DAN DISKUSI

Identifikasi Tantangan dan Peluang Pemenuhan Hak Keagamaan dan Adat Untuk penyandang disabilitas di Bali sebagaimana tercantum dalam pasal 50 Peraturan Bali Nomor 9 tahun 2015 dapat disampaikan sebagai berikut:

3.1 Tantangan

Keberadaan orang-orang cacat adalah bagian dari keragaman masyarakat Indonesia dan juga Bali. Namun, potensi penyandang cacat cenderung kurang berkembang karena keterbatasan fisik dan hambatan psikologis selain karena faktor lingkungan.

Para penyandang disabilitas menghadapi hambatan dalam berintegrasi dengan masyarakat, seperti hambatan sosial, hambatan budaya dan etnis, serta hambatan arsitektur, sehingga penyandang disabilitas tidak memiliki akses ke kehidupan sebagai anggota komunitas yang lain (Surwanti, 2013).

Harga diri yang rendah juga mempengaruhi kemampuan untuk bersosialisasi dan berinteraksi dengan lingkungan sekitarnya dan orang lain dan tentu saja mempengaruhi tingkat kebahagiaan (Karyanta, 2013).

Penyandang disabilitas adalah kelompok rentan yang cenderung dikecualikan dalam berbagai kehidupan sosial. Mereka dikecualikan karena faktor kemiskinan yang membuat kecacatan menjadi penyebab dan juga akibat kemiskinan. Penyandang cacat cenderung dikecualikan di dunia kerja, dari jejaring sosial karena keluarga mereka cenderung disembunyikan oleh keluarga, lingkungan fisik dan layanan baik layanan publik maupun swasta (Maftuhin, 2017).

Stigma negatif terhadap Penyandang Disabilitas di Indonesia masih terjadi. Penyandang disabilitas diberi label sebagai individu yang tidak memiliki kemampuan dan cenderung dianggap sebagai beban bagi lingkungan sekitarnya. Kebijakan dan undang-undang ini masih didominasi dan dipengaruhi oleh pendekatan amal daripada pendekatan berbasis hak asasi manusia (Ra’is, 2017).

Penyandang disabilitas masih menghadapi diskriminasi, terutama pada wanita dan anak-anak. Mereka menghadapi diskriminasi ganda karena gender dan kecacatan mereka. Keberadaan mereka cenderung terisolasi karena ada juga yang disembunyikan oleh keluarga dengan mengurung mereka di rumah.

Penyandang disabilitas identik dengan masalah sosial dan bantuan sosial sehingga mereka identik dengan tugas-tugas layanan sosial. Padahal kenyataannya, masalah yang dihadapi cukup kompleks termasuk dalam menjalankan kehidupan agama dan adat sehingga membutuhkan partisipasi lintas sektor.

Kebutuhan penyandang disabilitas untuk menjadi religius dan terlibat dalam partisipasi kehidupan masyarakat adat masih dipandang tidak mendasar. Padahal agama adalah hak dasar dan hak asasi manusia. Praktek agama Hindu di Bali sulit untuk memisahkan praktik agama dan adat karena sering merupakan kesatuan tindakan.Tantangan yang dihadapi oleh Penyandang Disabilitas untuk mendapatkan hak agama dan adat adalah diskriminasi, kurangnya buku-buku agama, tidak tersedianya layanan khusus bagi penyandang disabilitas di tempat-tempat ibadah.

Diskriminasi masih terjadi dengan pelabelan penyandang disabilitas sebagai candala yang didefinisikan sebagai kelompok yang hina, rendah hati dan menghina yang membatasi pergerakan para penyandang disabilitas. Tantangan untuk mendapatkan hak beragama bagi penyandang cacat di Bali adalah sebagai berikut:

3.1.1 Ketersediaan Buku Panduan Keagamaan

Kendala utama dalam memenuhi hak beragama bagi orang buta adalah kelangkaan buku-buku agama dalam huruf braille. Orang buta yang tidak mengakses perangkat dan teknologi membutuhkan buku-buku agama dalam braille seperti lagu rohani dan dharmagita. Buku-buku ini memainkan peran penting sebagai panduan moral dalam kehidupan sehingga mereka dapat berbagi nilai moral dan estetika dalam kelompok himne yang disebut pesantian.”Al Qur’an dan Alkitab sudah dalam huruf braille.

Kami beragama Hindu dan kami membutuhkan buku-buku pujian spiritual dan darmagita sebagai panduan moral. Ini adalah instrumen penting untuk orang buta. Dengan buku-buku ini orang buta dapat berkontribusi dan terlibat secara sosial selain bermain musik untuk menemani kegiatan keagamaan. Sejauh ini buku-buku ini telah ditulis dalam huruf braille oleh individu, bukan dari penerbit atau lembaga agama. “(Diwawancarai: I Nyoman Soma, 27 Agustus 2018).

Hambatan yang dihadapi kebanyakan oleh tuli adalah bahwa mereka tidak memahami teks-teks agama yang harus digunakan sebagai referensi dan hanya berdoa dengan menggunakan bahasa yang dimengerti mereka sendiri. “Kami tidak mengerti mantra atau mantra seperti yang seharusnya digunakan. Kami hanya berdoa menggunakan kata-kata kami sendiri. “Kami berdoa dengan kata-kata kami sendiri dan hanya mencoba untuk menjadi orang baik dengan membantu orang lain.” (Wawancara: Gede Musantara Yudha, 12 September 2018).

3.1.2 Layanan Khusus

Layanan sosial untuk penyandang disabilitas belum dilakukan oleh lembaga agama sehingga banyak penyandang cacat hanya pergi ke tempat ibadah jika ada anggota keluarga atau organisasi OPD yang bersedia mengambilnya. Ini adalah bagian dari tindakan sukarela yang diselenggarakan oleh OPD untuk mendukung dan melayani anggota mereka sendiri. layanan sukarela diberikan pada anggota organisasi agar mereka tidak terisolir dan beradaptasi dengan kehidupan masyarakat.

Tidak adanya layanan bantuan dan bantuan dari lembaga agama menyebabkan perbedaan jarak sosial antara orang-orang penyandang cacat dan agama mereka atau kepercayaan mereka dan lembaga agama dan adat. Lembaga agama pasif dengan kehadiran orang-orang cacat di tempat-tempat ibadah dan adat istiadat yang membutuhkan layanan khusus.

“Saya pergi ke tempat umum untuk beribadah di pura ketika saya semakin tua dan ketika anak-anak saya memahami prosesi agama sehingga mereka dapat membantu saya. Sebelumnya, saya hanya tinggal di rumah. Sebelumnya, warga tidak mengizinkan saya untuk terlibat dalam perayaan karena tidak ada layanan khusus bagi penyandang cacat di tempat ”(wawancara: I Made Sukawijaya, 27 Agustus 2018).

Orang tuli membutuhkan empati dari lembaga agama dengan menyediakan layanan khusus seperti penerjemah isyarat di lembaga keagamaan. “Para pemimpin agama harus mengerti bahwa kami tuli dan tidak mengerti apa yang mereka katakan secara lisan. Kami membutuhkan penerjemah isyarat di tempat-tempat ibadah sehingga kami tidak mengalami kesulitan. Mungkin ada tempat ibadah khusus yang dapat diakses oleh tuli seperti kita. ”(wawancara: Adhi Negara, 12 September 2018).

Ketiadaan jasa institusi keagamaan yang seharusnya mendukung orang tuli telah menciptakan disparitas dalam praktik agama. “Saya tidak terbiasa belajar agama lagi. Tidak, setelah saya menyelesaikan sekolah saya.” (wawancara: Kuswahyuhadi, 12 September, 2018).

Padahal menurut Mahasaba II PHDI 1968 menyatakan kewajiban seorang pemimpin keagamaan bahwa ia sebagai pemimpin harus secara aktif mengambil bagian dalam setiap pertemuan dan diskusi yang dimaksudkan untuk membangun ajaran agama dan juga memberikan dharma upadesa atau pencerahan (Sudarsana, 2018).

3.1.3 Infrastruktur

Sebagian besar agama dan tempat tradisional tidak dapat diakses oleh penyandang cacat. Wacana penting tentang penyediaan akses ke penyandang cacat di tempat umum bagi penyandang cacat dan masyarakat tentang penyandang cacat.     Wacana pembangunan infrastruktur dan struktur yang dapat diakses sering bertabrakan dengan keberadaan penyandang disabilitas.

Kebutuhan untuk membangun infrastruktur dan struktur bangunan yang dapat diakses dianggap sebagai upaya yang tidak produktif karena kehadiran para penyandang disabilitas jarang dan jarang terlihat dalam perayaan keagamaan. Penyandang cacat seringkali dikecualikan dari lingkungan sehingga kehadiran mereka menjadi tidak terlihat.

“Dalam perspektif penyandang cacat, mereka tidak terlihat di ruang publik karena kehadiran mereka sering disembunyikan oleh keluarga, dianggap sebagai beban dan juga akses ke ibadah tidak dapat diakses. Ini seperti debat tentang apa yang ada di sana sebelum antara ayam dan telur. “ (Diwawancarai: I Nengah Latra I Nengah Latra, 31 Agustus 2018).

Pembangunan infrastruktur dan struktur keagamaan untuk penyandang cacat masih jauh dari harapan, seperti kurangnya akses bagi pengguna kursi roda, kamar mandi yang sempit, tidak tersedianya petunjuk untuk orang buta. Meskipun, dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 30 tahun 2006 telah diatur pada Pedoman Teknis untuk Fasilitas dan Aksesibilitas dalam Bangunan dan Lingkungan (Robandi.2017).

“Tempat ibadah masih tidak ramah cacat terutama untuk pengguna kursi roda.” (Wawancara: I Komang Sukadana, 31 Agustus 2018). “Kami terpaksa untuk memanggul kursi roda di bahu kami sehingga kami dapat membantu anggota mencapai tempat ibadah. Sedangkan dengan menyediakan pengguna kursi roda infrastruktur dapat beribadah secara mandiri “(Wawancara: I Nengah Latra, 31 Agustus 2018).

1.4. Diskriminasi

Beberapa daerah masih melarang Penyandang Cacat untuk berdoa dengan memanggil mereka candala. Istilah ini dipahami sebagai seseorang yang tercela untuk memasuki tempat ibadah.

“Sepupu saya adalah orang buta sama seperti saya. Dia terpaksa untuk melawan elit desa karena dia dilarang untuk melakukan pemujaan di pura karena diberi label candala dan tanpa alasan yang jelas. Mengetahui haknya, sepupu saya berjuang dengan mengancam mereka bahwa dia akan melaporkannya ke Parisada Hindu Darma Indonesia (Masyarakat Hindu Indonesia). Akhirnya, sepupu buta saya diizinkan untuk bersembahyang. ”(Wawancara: I Gede Winaya, 27 Agustus 2018).

Meskipun menurut Sarasammuccaya Sloka 40, dinyatakan bahwa pendeta disebut Sang Apta berarti bahwa ia harus memberikan respons, memimpin pengikut untuk ketaatan fisik dan spiritual dan juga melindungi pengikutnya (Sudarsana, 2018). 3.2

Peluang

Beberapa peluang yang dapat digunakan untuk menciptakan kehidupan keagamaan yang lebih inklusif untuk memberikan perlindungan dan pemenuhan hak agama dan adat bagi penyandang cacat adalah sebagai berikut:

3.2.1 Teknologi Informasi

Peluang kemajuan teknologi perangkat, aplikasi, dan juga media sosial telah mempermudah orang buta mengakses pengetahuan agama dan pendidikan. Sains dan teknologi informasi tidak hanya memberikan kesenangan yang mengubah tatanan kehidupan manusia, tetapi bisa menjadi dasar inovasi dalam mengajarkan hinduisme dan budaya (Putra Yasa, dll, 2018). Media pembelajaran dapat merangsang motivasi untuk belajar karena interaksi antara siswa (umat) dan sumber belajar yang ada (Darmaningsih.etc, 2018)

Pemerintah dapat menerbitkan materi keagamaan dalam bentuk e-book sehingga dapat dibaca dengan aplikasi book reader. Banyak orang buta memiliki akses ke perangkat dalam bentuk komputer dan ponsel dengan aplikasi ucapan seperti jaws pada komputer dan aplikasi talks di ponsel. Tetapi lebih baik bagi pemerintah untuk bersinergi dengan membantu mencetak dalam braille lagu-lagu rohani dan darmagita sebagai karya orang tunanetra bagi mereka yang tidak mengakses teknologi.

3.2.2 Bangunan Yang Akses

Pembangunan infrastruktur dan struktur bangunan yang inklusif dapat dilakukan dengan membangun proyek percontohan untuk bangunan keagamaan yang dapat diakses seperti menyediakan portal penyeberangan kursi roda dalam bentuk S. Orang dengan cacat fisik dapat beribadah sesuai dengan agama dan keyakinan mereka dengan menggunakan akses itu untuk diri mereka sendiri atau menjadi mandiri.

3.2.3 Penyediaan Layanan Khusus

Layanan khusus dapat diberikan di tempat-tempat ibadah atau selama perayaan keagamaan. Perlu ada penerjemah atau penafsir isyarat sehingga orang tuli dapat menghadiri kegiatan keagamaan dengan baik. Informasi dan arah juga dapat disediakan sehingga dapat diakses oleh penyandang cacat.

3.2.4. Media

Media massa dan media sosial adalah sarana produktif untuk menyalurkan informasi agama dan pribumi kepada orang-orang, terutama penyandang cacat. Radio, televisi, dan media sosial menjadi alternatif bagi pembelajaran agama independen. Dengan demikian pemerintah dapat melaksanakan pendidikan agama dan tentu saja memberikan layanan bahasa isyarat dengan menggunakan saluran informasi dan komunikasi melalui media massa dan media sosial. Dikatakan bahwa komunikasi dan interaksi dalam tahap internalisasi ajaran agama memainkan peran penting dalam mengembangkan karakter yang baik dan memberikan nilai-nilai agama, nilai-nilai moral, disiplin, komunikatif, nilai-nilai estetika, nilai-nilai kreatif dan nilai-nilai tanggung jawab (Hiroyuki, dll, 2018).

3.2.5. Peraturan Gubernur

Pemerintah mengeluarkan Peraturan Gubernur Bali No. 67 tahun 2017 tentang Komite Regional untuk melindungi dan memenuhi hak-hak penyandang disabilitas (disability regional committees) sebagai lembaga regional independen yang memiliki kedudukan hukum dan melaksanakan fungsi peninjauan dan penelitian, konseling dan memonitor hak asasi manusia dan kebebasan dasar para penyandang cacat.

Pemerintah juga menerbitkan Peraturan Gubernur Bali No. 44 tahun 2018 tentang peraturan pelaksana peraturan daerah No. 9 tahun 2015 tentang perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Kedua peraturan ini merupakan peluang untuk mendapatkan pelindungan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas di Bali dan dalam mengurangi diskriminasi dengan melibatkan semua sektor di lembaga pemerintah, tidak hanya dari dinas sosial.

V. Simpulan

Dari fakta-fakta itu, eksklusi sosial masih dihadapi oleh orang-orang penyandang cacat dalam memperoleh hak-hak beragama secara setara dan bermartabat. Pengecualian sosial agama muncul dalam berbagai bentuk seperti diskriminasi, stereotipe, pelabelan sebagai candala orang tercela yang hanya menjadi beban sosial. Pengecualian, pembatasan dan pembatasan keberadaan orang-orang penyandang cacat dalam menjalankan praktik keagamaan adalah pelanggaran hak asasi manusia. Penyandang disabilitas masih “yang lain” dalam praktik keagamaan.

Meski begitu, masih banyak elit konservatif yang belum tersentuh oleh perubahan sistem sosial yang terjadi melalui Peraturan Bali No. 9 tahun 2015 tentang perlindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas di Bali sehingga diskriminasi masih terasa.

Lembaga agama masih pasif dalam mengakomodasi pemenuhan kebutuhan penyandang disabilitas dalam memperoleh hak beragama mereka. Kehadiran para pemimpin agama lebih karena undangan untuk memberikan ceramah agama dan karena mereka diundang oleh penyandang cacat.Bantuan agama hanya dirasakan di lembaga pendidikan.

Kesenjangan sosial ini membuat jutaan penyandang disabilitas menjadi masyarakat yang terasing dengan agama mereka. Fungsi lembaga agama menjadi anomie ketika dalam konteks ini institusi keagamaan tidak menghasilkan solidaritas sosial yang luas. Kegiatan keagamaan yang dilakukan oleh penyandang disabilitas sebagian besar dilakukan sebagai bentuk solidaritas melalui partisipasi dalam membangun identitas kelompok eksklusif.

Pemenuhan hak agama dan adat dalam Peraturan Bali No. 9 tahun 2015 adalah upaya inklusif untuk kesetaraan dan martabat penyandang disabilitas.     Pemenuhan hak beragama adalah hak asasi manusia yang harus dipenuhi oleh pemerintah dan juga oleh pemerintah daerah.

Kebutuhan akan buku panduan religius, layanan khusus dan penerjemah bahasa isyarat dalam konseling agama, pengembangan ramah dan akses penyandang disabilitas penting untuk dilakukan sehingga terciptanya inklusi dalam masyarakat yang beragam untuk harmoni kehidupan.

Pemerintah juga harus bekerja sama dalam lintas sektor untuk menerapkan peraturan Bali No. 9 tahun 2015. Media juga bertindak secara luas dalam menginternalisasi nilai-nilai budaya dan agama dalam konteks masyarakat inklusif sehingga ini harus diperhitungkan dan dimanfaatkan sebaik mungkin.

DAFTAR PUSTAKA

Azra, Azyumardi.2016. Social Inclusion; Six Groups. Republika.co.id

Batubara, Putranegara. 2018. Upset Cases of Religious Intolerance due to Exposure to Radical Thought. Jakarta: Okezonenews.

ILO. 2013. Inclusion of Persons with Disabilities in Indonesia. http://www.ilo.org/jakarta/whatwedo/publications/WCMS_233426/lang–en/index.htm

Karyanta, Nugraha Arif. 2013. Self-Esteem for Person with Physical Disability .jurnalwacana.psikologi.fk.uns.ac.id/index.php/wacana/article/view/14/14

Maftufin, Arif. 2017. Defining Inclusive Cities: Origins, Theories and Indicators. Tata Loka Volume 19 Number 2, May 2017, 93-103 © 2017 Planning Bureau of the Undip P ISSN 0852-7458- E ISSN 2356-0266. https://www.researchgate.net/publication/318612160_MENDEFINISIKAN_KOTA_INKLUSIF_ASAL-USUL_TEORI_DAN_INDIKATOR Mulia,

Siti Musdah. 2007. Human Rights and Religious Freedom. Elsam: Panel Discussion: The Development of the Concept of Crimes Related to Religion in the Criminal Code Update, the RKUHP Alliance, 2007.

Nasution, Imaduddin. 2015. Social Exclusion and Minority Study discourse. Kompasiana

Nurjanah and Fitria. 2018. Disability Data Collection is Still a Challenge in Realizing Development of Inclusion. Pattiro.or.

Ra’is, Dekki Umamur. MAP OF SOCIAL INCLUSION IN VILLAGE REGULATION. REFORM-ISSN 2088-7469 (Paper) ISSN 2407-6864 (Online) Volume 7 No. 2 (2017). https://jurnal.unitri.ac.id/index.php/reformasi/article/download/803/772

Ratnaningsih, Erna. 2016. Paradigm Shift on Persons with Disabilities in Law No. 8 of 2016. http://business-law.binus.ac.id/2016/04/29/per Shift-paradigma-tentang-penyandang-disabilitas-dalam-uu-no-8-tahun-2016/ ———- 2017.

The Right to Freedom of Religion and Belief in the Context of Human Rights. http://business-law.binus.ac.id/2017/07/31/hak-atas-kebebasan-beragama-and-berkeyakinan-dalam-konteks-hak-asasi-manusia/ Ruman,

Yustinus Suhardi. 2014. Social Inclusion in the Jakarta Healthy Card Program (Kjs) and Jakarta Pintar Card (Kjp) in DKI Jakarta.

HUMANIORA Vol.5 No.1 April 2014: 113-121. https://media.neliti.com/media/publications/166909-ID-inklusi-sosial-dalam-program-kartu-jakar.pdf

Solehudin, Mochamad. 2017. How many people with disabilities are unemployed? This is what Menaker said. Bandung: Detikfinance
Shafi’ie. 2011. Ambiguity of the Right to Religious Freedom in Indonesia and Its Position After the Decision of the Constitutional Court. Journal of the Constitution, Volume 8, Number 5, October 2011.

Rochmanudin. 2018. Cases of intolerance and religious violence Throughout 2018. Jakarta: IDN Times         Robandi.2017. Spectrum of places of worship, challenges for Indonesian architects. Yogyakarta: Solider.or.id

Erdianto, Kristian. 2018. Violence Nuances of Religion Become a Threat to Diversity. Jakarta: Kompas.com Habibie, Nur. 2018.

Setara Institute: 155 cases of intolerance occurred in 2017. Merdeka.com

Surwanti. Arni.2013. Model of Economic Empowerment of Persons with Disabilities at Indonesia.journal.umy.ac.id/index.php/mb/article/view/614 Suparta (2015). DPRD Special Committee mentioned Bali Disabled Persons Increased. Bali: Antara News Bali.

Tambunan, Tulus. 2016. Inclusive Economic Development, How far has Indonesia been? Jakarta: LP3ES

Winasti, Milu. 2012. Motivation for Entrepreneurship in Persons with Physical Disabilities. Empathy Vol.I No.1 December 2012.download.portalgaruda.org/article.php?article=123279&val=5545 BBC.2001. State Recognition of Confucius. https://www.bbc.com/indonesia/lorkan_kimewa/2011/04/110407_agamakong

Published by Dr. Ida Ayu Made Gayatri,S.Sn., M.Si

Dosen Universitas Ngurah Rai Mitra Bakti DPD Pertuni Bali 2012- sekarang

Leave a comment