SONTOLOYO

Pagi ini, Bagus bersemangat. Ini hari pertamanya bekerja sebagai sopir di hotel.  Ia sungguh beruntung  lulus kuliah bisa diterima langsung bekerja sebagai sopir bus wisata di sebuah hotel berkelas. Itu berita yang menggembirakan.

Tugasnya hari ini adalah menjemput rombongan wisatawan. Bagus dengan bangga mengenakan kostum perusahaan, destar pengikat kepala dan tanda pengenal. Dia juga menyiapkan papan nama untuk ditunjukkan pada tamunya di bandara. Dari bandara rencananya Bagus akan membawa tamunya langsung ke hotel yang telah di booking lewat online.

Tetapi, malam itu terjadi  keributan di tempat parkir bandara. Sebuah mobil dicegat rame-rame oleh para sopir taksi bandara. Mereka terlibat perang mulut, antara sopir taksi bandara yang merasa wilayah pekerjaannya dijarah sopir taksi online.

Para pria berhadap-hadapan bersaing untuk mempertahankan teritori dan nasib keluarganya. Apakah istri dan anak mereka di rumah mengerti kerasnya persaingan dan lelahnya menunggu panggilan untuk mengantar penumpang ke tujuan? Entah.  Padahal selama seharian yang hanya ada bayangan sang istri di pelupuk mata. Belum lagi sampai di rumah sang istri menolak intim dengan suami dengan alasan yang sama, lelah!.

“Sontoloyo!” maki sopir itu.

Tetapi, ya begitu. Masih saja ada yang kucing-kucingan. Penumpang juga begitu, lebih senang memilih taksi online yang lebih hemat hingga 75%. Petugas keamananan bandara akhirnya mengamankan situasi. Intinya, taksi online dilarang angkut penumpang di areal bandara.

Bagus memarkir busnya dengan perasaan gelisah. Ia mempercepat langkahnya menuju gate kedatangan. Ia menyiapkan papan nama rombongan yang akan dijemput, untung tidak ada delay dan tamunya datang tepat waktu. Bayangkan kalau pesawat delay sampai tiga jam! Betapa  membosankan menunggu itu. Nasib baik tengah berpihak. Dari layar kedatangan yang ada di dinding bandara, pesawat yang ditumpangi rombongannya tiba dengan selamat dan tepat waktu.

Dari balik pintu kaca bandara terlihat barisan wisatawan berjejer dengan pemandu di depannya. Pemandu itu bertopi putih, membawa bendera kecil berwarna pink eye catching yang diikat pada tongkat panjang. Ia berjalan paling depan. Pada suatu titik kumpul, ia memberikan briefing sebentar pada rombongan berkostum holiday, membawa koper dan perlengkapan lain seperti papan selancar. Pemandu itu memimpin dan  meminta mereka mengikutinya.  Dan rombongan itu berbaris rapi keluar, seperti kawanan bebek.

woman-girl-dog-animals-9197

Pikiran Bagus tiba-tiba berselancar ke rumahnya di kampung. Bapaknya juga  begitu, membawa bendera berwarna dari plastik yang diikat dalam bambu panjang. Bedanya, pakaian bapak itu-itu saja, kaos bekas kampanye sumbangan partai yang sudah kotor bau belerang.

Bapak bercaping agar tidak kepanasan saat menggiring bebek-bebek petelur ke sawah. Dari ternak bebek itulah Bagus disekolahkan dengan harapan mendapatkan pekerjaan dengan posisi yang terhormat. Ya, bapak bekerja sebagai angon bebek. Bedanya lagi, bapak menggiring bebeknya dari belakang dan mengarahkan dengan tongkat berbendera plastik tadi.

Lamunan Bagus buyar dengan muncul seorang tour guide menggiring rombongan yang berkilau ke arahnya. Pemandu wisata itu sudah membaca papan nama yang dibawa Bagus. Dengan kemampuan  berbahasa asing, Bagus dan pemandu itu berkomunikasi. Akhirnya mereka berdua mengarahkan rombongan menuju ke tempat parkiran yang lumayan jauh.

Dalam perjalanan itu, kembali Bagus merasakan sensasi mengarahkan rombongan seperti iring-iringan bebek yang berjalan dengan berbaris teratur. Pemandu wisatawan itu bukan orang lokal. Ia datang berbekal paspor dan visa wisata membawa rombongan dari negaranya. Ia pula yang mengatur kemana rombongan itu tidur dan berlibur. Jadi tak perlu mengurus sertifikat tetek bengek menjadi pemandu wisata. Cukup bermodalkan relasi dan kepercayaan saja.

Sembari menyetir, Bagus mengamati  pemandu itu dengan microphone menjelaskan segala sesuatunya dengan lugas. Sesampai di hotelpun pemandu itu membantu rombongan dengan sigap dan tanpa layanan yang berlebihan. Usai itu, ia mengurus komisi akomodasi dengan pihak menejemen.

“Sontoloyo!”

Pakde membanting koran di meja. Istrinya kaget, tumben suaminya kesal pada pagi yang seharusnya manis manja. Secangkir kopi yang dihidangkan Bude masih hangat belum dikecup setegukpun oleh suaminya. Tampak di sebelahnya, pisang goreng baru dikunyah sebagian tersisa lemah tanpa daya. Melempem. Itu kode kalau Bude kecewa dengan Pakde yang tidak bermesraan semalam.

”Kenapa, Pak?Ada apa pagi-pagi sudah emosi begitu?” tanya Bude ingin tahu perubahan sikap suaminya sejak kemarin.

”Ini lo, di koran disebutkan pemerintah baru saja menggerebeg toko asing yang berkedok dagang souvenir. Ternyata itu bisnis pariwisata. Itu toko tetangga kita pula, punya Pak Sandijaga. Ternyata, mereka berkongsi dengan antek asing berbisnis hotel murah. Ini kan menjatuhkan harga pasaran! Kita warga lokal lama-lama makan tempe ukuran setipis atm kalau begini caranya!“.

“Padahal, Pak Sandijaga kan anggota dewan! Kok malah berpihak pada antek asing?“ Bude turut menghangatkan suasana hati Pakde.

“Politisi sontoloyo!” gerutu Pakde sambil mengecup kopi istrinya dan melanjutkan membaca koran.

Sementara di kampung pagi ini, Pak Wowo hanya membasuh wajahnya dan menyeruput kopi. Sesekali rokok kretek menempel di jemarinya dan sudut bibir hitam keriput. Kuku tangannya coklat karena nikotin dan selipan debu tanah. Asap tembakau beraroma cengkeh mengambang di permukaan. Lalu, Pak Wowo meniupnya seperti mengusir lamunan. Teras dapur menjadi berkabut. Aroma cengkeh pagi itu pastinya cuma miliknya. Bagus putranya sudah merantau dan bekerja di kota.

Pagi begitu meditatif. Para lelaki di desa umumnya tepekur dalam ritual asap rokok lintingan dan segelas kopi. Dan para wanita beranjak menjerang air dan menanak beras. Sesekali, mungkin mengukus ubi atau merebus jagung sambil menunggu cahaya matahari.

Langit  masih berkabut. Rerumputan basah  berselimut embun, serupa sarang laba-laba perak memancar kilau air mata malam. Pak Wowo beranjak dari bangku kayu. Dengan gagah dia bangkit untuk bersiap bekerja seperti pekerja profesional lainnya. Apalagi karirnya hampir setua usianya,  namun tanpa  cuti, pesangon apalagi pensiunan.

Pak Wowo beranjak dari bangku dan berangkat menuju kandang bebeknya. Mendadak dari kejauhan bebeknya terdengar rusuh. Ia mempercepat langkah. Ternyata, ada kerumunan di dekat kandangnya. Beberapa orang tampak seperti orang kota, berkemeja dan bersepatu menenteng kamera. Mereka memperkenalkan diri sebagai jurnalis alias wartawan. Tujuan mereka adalah meliput  sontoloyo yang lagi viral di media sosial. Bebek Mas Wowo mendadak kaget dijepret kamera yang menyilaukan.

Sontoloyo lagi naik gengsi.

Presiden menuding sontoloyo sudah  mencuci otak politisi di negeri ajaib ini. Wartawan memburu Pak Wowo, satu satunya sontoloyo yang masih ngeksis. Ya, profesi Sontoloyo sebagai angon bebek sudah langka. Sontoloyo adalah profesi  warisan keluarga. Ternak bebek petelur dengan biaya yang minim cukup menghidupi petani dan peternak.

Sontoloyo cuma perlu mengarahkan bebek-bebeknya ke sawah agar bertelur dengan giat tanpa kompromi. Persis seperti hegemoni politisi. Sementara, jurnalis membuntuti sontoloyo menggiring bebek ke sawah. Dan politisi menggiring pengikut untuk memberinya kursi untuk makan. Toh, bebek itu bisa nyari makannya sendiri dan malah memberikannya untung, kata Sontoloyo.

Published by Dr. Ida Ayu Made Gayatri,S.Sn., M.Si

Dosen Universitas Ngurah Rai Mitra Bakti DPD Pertuni Bali 2012- sekarang

Leave a comment