BAKAO by Gayatri Mantra

Hutan Mangrove.

Senja menjelang, kala sekelompok Burung Kokokan menuju pulang. Menembus awan nimbus, Kokokan putih berarak, bermanuver terbang rendah diantara rerimbunan Hutan Mangrove. Pulang, pulang, pulang!  Raja burung memerintahkan anggotanya bersiap dan bersiaga, agar hari ini mereka bisa tetap selamat sampai ke sarang.  Gerombolan sayap-sayap putih itu terbang  menggaris langit, melayang di atas jalanan bypass yang semakin padat dilintasi kendaraan.

Masih, sepasang kekasih melintasi jembatan kayu yang berkelok seperti ular. Mereka menyandarkan tubuhnya pada pilar jembatan sambil menatap langit dengan tersenyum, lalu diabadikan kamera untuk foto pre-wedding. Payau ini tenang menunggu langit memburatkan warnanya dipermukaan yang bercahaya. Dan, para pemancing seperti kusuk dalam imaginasi tentang ikan-ikan dan kepiting yang berkelebat di bawah riak permukaan danau. Di balik caping bambunya tak terlihat wajah mereka, entah tertidur, menikmati kebebasan dari terikan nasib atau tarian ikan memang begitu menggairahkannya. Entahlah.

Hutan Mangrove.

Senja baru saja  menyelubungi kelir langit dengan kelam.  Para aktivis lingkungan menyeka keringat dan membersihkan sisa lumpur di kaki. Program penanaman bibit Bakao sukses seperti yang diharapkan. Agenda itu berakhir bersamaan dengan gerombolan Burung Kokokan hendak kembali kesarangnya. Gus Pidade menatap gadis pujaannya, Galuh. Nama itu selalu menghampiri ingatan Gus Pidade sejak pertemuan pertama mereka di LSM. Gagasan tentang perlindungan lingkungan telah menginspirasikan mereka untuk berbuat sesuatu, mengawal proses kebijakan politik pemerintah, diseminasi sosial hingga secara praksis melakukan kerja sosial, seperti sore ini: penanaman bibit Bakao, lalu menancapkannya ke dalam lumpur, kelak mereka tumbuh rimbun dan berbuah matang. Mereka bermimpi membangun rumah bagi naga-naga penjaga, menaungi habitat kura-kura, kepiting dan gerombolan ikan kecil.

Galuh, wajah gadis cantik itu memantul dipermukaan air, saat ia begitu sibuk bersama aktivis lain menanami tanah berlumpur itu dengan Bakao. Ah, kecantikan itu tengah bertunas di hati Gus Pidade. Senja di Hutan Mangrove menjadi begitu menggetarkannya. Sambil membenamkan kaki dan bibit Bakao ke dalam lumpur, Gus Pidade mendekati  Galuh:

“ Konon, dari benih ini hujan diciptakan…” kata Gus Pidade memulai percakapan.

“Bagaimana mungkin?” Galuh bertanya sambil menengok ke depan. Tidak biasanya aktivis dihadapannya akan menyatakan sepatah kata padanya. Setahunya, Gus Pidade mahasiswa botani  ini tidak begitu banyak cakap, tetapi kerjanya sangat cekatan. Semua orang sudah tahu itu.

“Karena Bakao-Bakao ini kelak akan melahirkan titik air ke angkasa, lalu menjadi awan, lalu menetaskan hujan dan ibu bumi akan memeliharanya. Sesungguhnya, hari ini kita tengah menanam benih hujan dan air” begitu ujar Gus Pidade sambil menatap Galuh.

“Dan, kehidupan! Bakao ini telah melahirkan silsilah. Seperti namamu, Pidade. Gus Pidade! Ya, Pidade bisa berarti orang yang memberikan kehidupan bagi orang banyak” ujar Galuh. Gus Pidade gantian terpesona menatap Galuh dan mereka saling bertatapan dan saling tersenyum.

Bagi Gus Pidade, Bakao-Bakao itu telah membawanya pada imajinasi peristiwa di rentang waktu yang tak terhitung di masa silam. Pertemuan selalu berinkarnasi ribuan kali dalam kisah cinta. Dan dari masa ke masa, Bakao telah meredam riuh pesisir dan sejuta janji para kekasih.

“Lihatlah cecabang Pidade ini, Yayi! Pidade ini tumbuh menancap kuat di pasir ini untuk menjaga kehidupan di sepanjang pesisir ini. Begitulah cintaku padamu. Aku ingin menamainya Pidade, anakku, dan anakmu. Ia yang akan menjaga silsilah dan tanah ini” bisik seorang lelaki berwajah bercahaya di balik telinga kekasihnya. Lalu, mereka saling berpelukan diantara getar pepohon dan senja saga menyelinap diantara bayangan dedaunannya.

Di masa kini, Hutan Mangrove bagi Gus Pidade seperti merekam kenangan cinta pertamanya pada Galuh. Dan keindahan itu diabadikannya bersama-sama dengan para aktivis yang sibuk mendokumentasikan agenda mereka. Kegiatan mereka  dimuat di koran tentang bakti sosial LSM. Sore itu semua berjalan tanpa hambatan. Para aktivis percaya, dengan menanam Bakao maka suplai air untuk masa depan warga akan terpenuhi. Sungguh, sebuah gagasan dan cita-cita mulia dari generasi muda hari ini.

Hutan Mangrove.

Kurang lebih 25 meter dari Hutan Mangrove berdiri papan kayu yang kulitnya telah disengat matahari, bertuliskan:

“Dijual 155 are tanah. Hubungi Tuan Bizi, dan telpon +021212121.”

Aku membaca papan pengumuman itu saat melintasi penat jalanan. Ah, 20 tahun lalu tanah itu masih berupa rerimbunan Bakao, lalu berubah menjadi penangkaran udang. Bisnis udang bangkrut di mana-mana. Lahan ditinggalkan menjadi kolam-kolam terbengkalai, hanya bau amis yang masih tersisa. Entah karena berdekatan dengan TPA sampah, atau karena air tergenang di dalam kolam. Diatasnya berdiri pondok-pondok kayu bertengger seperti rumah-rumah burung, ternyata masih berpenghuni. Entah siapa mereka yang tinggal di sana? Berapa kali pemilik lahan itu telah berganti nama. Kini, entah tanah siapa? Entah bagaimana batas hutan menjadi semakin mampat?

Kapitalis menjual isu air, tahayul global perubahan iklim. Rakyat dimobilisasi untuk menanami seluruh pesisir dengan Bakao. Propaganda: Awas Tsunami! Awas Air Langka! Lalu semua lapisan masyarakat bergerak menanam Bakao secara sukarela, mengabadikannya dalam advetorial-seremonial di koran. Lalu, akar-akar Bakao bekerja tanpa kerewelan membentuk lumpur menjadi tanah padat. Dan dalam 20 tahun terbentuklah dataran padat. Dan kapitalis tertawa terbahak-bahak.

“Begitu mudah..begitu mudah….! Tak perlu biaya tenaga kerja, orang-orang bodoh itu sudah membantu memadatkan lumpur sialan itu! Ini saatnya untuk menjual!” girang, begitulah pikiran para kapitalis. Dan papan kayu itupun bertengger di antara  tanah-tanah galian bekas kolam udang hasil pengalihan lahan yang tak jelas. Sebagian tempat lagi sudah berdiri pertokoan-pertokoan angkuh, tempat dimana akar-akar Bakao pernah menancapkan silsilahnya. Kini, silsilah itu tercerabuti  uang. Aku melewati tepian jalan beraspal dan berkabut asap karbon, dimana Bakao-Bakao itu menyisakan jejak kehidupannya, yang dipangkas oleh Politik Busuk! Penuh tipu daya!

Hutan Mangrove.

Jalan bypass ini mendadak semakin macet dari biasanya. Polisi memasang pita kuning bertulis Police Line diantara cecabang bakao. Sepintas, tak ada bedanya dengan limbah plastik yang tersangkut diantara reranting. Hanya saja, polisi banyak yang berseliweran, masyarakat berjejal ingin tahu apa yang terjadi dan wartawan sepertiku memburu kisahnya. Siang terik ini polisi ke TKP untuk rekonstruksi  dan investigasi kasus.

Seseorang terbunuh. Tubuhnya ditemukan oleh para pemancing di pagi hari, tanpa kepala! Laki-laki, diperkirakan 32 tahun dan warga negara asing. Ditemukan sejumlah lebam dibadannya dan tusukan benda tajam. Jenasah Mr.X ini difoto dan dibawa oleh kriminolog untuk diotopsi. Sang Pelaku telah menjejalkan mayatnya ke dalam lumpur. Otak pembunuhan itu adalah warga senegaranya dibantu warga lokal. Motif pembunuhannya adalah balas dendam karena persoalan hutang bisnis yang tak terbayar. Potongan kepala ditemukan di wilayah lain Hutan Mangrove itu. Kurang lebih 1 km dari tempat ditemukannya badan mayat, potongan kepala berhasil ditemukan dalam sebuah koper. Kepala itu tanpa bola mata! Kepiting-kepiting telah menyantapnya dengan riang gembira.

Hutan Mangrove.

Ini bukan yang pertama kali para pelaku pembunuhan menanam mayat di antara keheningan rimbu Hutan Mangrove. Mereka membenamkan mayat-mayat seperti menanam bibit-bibit Bakao. Mayat-mayat  itu seperti menelanjangi setiap tindakannya sendiri semasa hidup. Tetapi para arwah tetaplah tak tenang, dan kematian sentiasa ingin meninggalkan jejaknya.  Diantara Bakao-Bakao, sejuta kisah telah dipadatkan. Burung-burung Kokokan tetap melintas, kendaraan tetap lalu lalang,  kisah cinta yang bertunas dan bercabang, serta roda bisnis tetap berputar. Dan, waktu setiap saat mengganti kelirnya dengan hari-hari yang terus bersilur. Begitu juga dengan tunas-tunas Bakao yang ditancapkan Gus Pidade dan Galuh. Bagi mereka, Bakao itu akan tumbuh dan tumbuh seperti kisah cinta diantara mereka berdua.

*Rhizopora (Bahasa Latin), Pidade (Bahasa Bali; genus:Sonneratia), Bakau (Bahasa Indonesia)

Published by Dr. Ida Ayu Made Gayatri,S.Sn., M.Si

Dosen Universitas Ngurah Rai Mitra Bakti DPD Pertuni Bali 2012- sekarang

Leave a comment